Sunday, August 23, 2009

CaRam (Catatan Ramadhan), Edisi 2: Sepatu Sendal

Sudah seminggu-an, aku mengenakan sepatu sendal tak sama. Beda motif antara yang kanan dan yang kiri. Meskipun, model dan nomornya pun sebetulnya sama. Tetap saja aku merasa tak mejing. Karena perasaanku selalu saja tak lena ketika mengenakan sepatu sendal itu (tak sama.ed). Mungkin perasaan ini –tak lena karena hilang kenyamanan—yang dimaksud Malcolm Gladwell dalam bukunya: Blink, Kemampuan Berpikir Tanpa Berpikir.

Sore tadi, hari pertama puasa (1430 H), aku menuju ke maidaturrahman (buka puasa bersama) di masjid dekat rumah. Dua kawanku juga turut serta. Kami sama-sama antusias menyambut buka puasa perdana.

Aku masih memakai sepatu sendal tak sama. Yang kanan, aku yakin, bukan lah pasangan yang kiri. Yaitu sepatu sendalku yang asli. Aku sendiri tak tahu, siapa, yang satu saat meminjam sepatu sendalku, kemudian mengembalikan dalam keadaan keliru? Sebab, kami –kawan serumah—biasa meminjam tanpa minta ijin, asal dikembalikan dalam keadaan seperti semula.

Ah, tak usah ambil pusing. Mungkin ini memang murni khilaf. Begitu perasaanku waktu pertamakali mendapati sepatu sendalku keliru. Dan namanya orang lupa, mau diapakan lagi? Atau barangkali memang keadaan --misalnya orang lain yang memakai pasangan sepatu sandalku lebih dulu-- baru kemudian kawanku mendapati sepatu sendalku sudah keliru. Begitulah. Sebisa mungkin, aku tak ingin berprasangka buruk pada kawanku.

Di rumahku memang seperti itu. Kawan-kawan berusaha membiasakan diri menghadapi masalah dengan sudut pandang simpati. Jika ada kawan terlelap tidur waktu siang, kami beranggapan bahwa ia sedang letih atau baru mengkatamkan beberapa buku. Kalau ada kawan tak melakukan apa-apa, kami anggap bahwa ia tengah memikirkan atau mencari sesuatu. Mungkin sedang berusaha menemukan jati diri.

***

Suara adzan maghrib menggema. Matahari merayap turun, tenggelam di langit barat. Angin mendesau menyapu jalanan, sesekali menampar mukaku yang lesu. Di hadapan kami, orang-orang berlarian menuju masjid Sarbini. Tujuan mereka sama dengan kami: mengikuti buka puasa bersama.

Tiba di depan pintu masjid, seorang Bapak menyodorkan sekotak kurma. Sebagai menu pembuka sebelum makanan berat. Aku mengambil beberapa biji. Demikian juga dengan dua kawanku. Lantas, kami segera masuk masjid dan bersiap melaksanakan sholat maghrib berjama'ah. Imam sholat membaca sepenggal surat Al-Baqarah. Berisi tentang kewajiban menunaikan puasa. Sholat maghrib pun usai. Sang Imam mengomando jama'ah agar segera menuju tempat berbuka.

Seluruh jama'ah bersiap meninggalkan shaf masing-masiang. Tentu saja hendak mempersiapkan diri untuk berbuka. Seperti gado-gado, menu sahurku pagi ini, jama'ah terdiri dari berbagai ras. Banyak mahasiswa Asia, Juga beberapa orang Rusia. Orang hitam pun tak kalah ramai memadati ruangan. Aku mengarahkan langkahku menuju rak sandal ketika terlihat beberapa kawan media Terobosan. Langsung saja kuhampiri dan kusalami mereka.

"Hei bro, Arik! Apa kabar?"

"Hamdulillah, gimana dirimu?"

"Lumayan, sudah mendingan. Oia, kabarnya Terobosan sudah mau terbit?"

"Iya, sebentar lagi."

Kami ngobrol sambil jalan. Aku minta maaf, tak bisa menghadiri up-grading kru baru karena sakit. Ini juga baru mendingan. Arik, yang juga Pimpinan Perusahaan media Terobosan, bercerita sedikit tentang kondisi kru baru. Katanya, kru baru kali ini lumayan-lumayan berani. Tak canggung untuk melakukan reportase. Obrolan kami terhenti ketika sampai di depan rak sendal. Kami mencari sendal masing-masing. Kuedarkan pandangan mencari sepatu sendal yang keliru.

Yup, ketemu! Tapi aku langsung terkesiap. Ternyata terdapat dua pasang sepatu sendal yang keliru. Sama dengan sepatu sendalku tadi, ada sepasang sepatu sendal yang motifnya beda. Kulihat, motif bagian kanannya, sama dengan punyaku. Sementara yang kiri, sama persis seperti yang kupakai.

Sangat sulit, untuk tidak menyangka bahwa, itulah pasangan sepatu sendalku yang keliru. Sepatu sendal kananku, cocok berpasangan dengan sepatu sendal itu, yang kiri. Tak banyak pikir, langsung saja kutukar sepatu sendalku yang keliru. Ternyata memang cocok. Jadi, sepertinya memang dua pasang sepatu sendal sepatu itu saling tertukar. Aku tak langsung keluar masjid seperti biasanya. Sejenak, kutunggu orang yang memakai sepatu sendal keliru, selain diriku. Naluriku mengatakan bahwa kita saling kenal. Sering bertemu dan berhubungan. Namun, seorang kawan tiba-tiba menyeretku. Aku pun belum sempat bertemu, dengan pemakai sepatu sandal yang keliru. Selain diriku.

Tub Ramli, Kairo. Minggu, 23 Agustus 2009

[+/-] Selengkapnya...

Saturday, August 22, 2009

CaRam (Catatan Ramadhan), Edisi 1

Usai sholat dhuhur, kubaca al-qur’an sejenak. Sekitar satu juz. Kemudian aku menghadap ke buku-buku yang telah kusiapkan semalam. Rencananya ingin kulahap selama bulan Ramadhan. Pasti menarik. Selama Ramadhan aku ingin belajar sejarah. Lantas, bagaimana berfikir secara historis? Selama ini aku hanya mencomot dari beberapa bacaan saja. Artikel, buku-buku bacaan umum, seminar, dan diskusi ringan dengan kawan-kawan.

Makanya ketika seorang kawan, Tabrani Basya, banyak membawa buku-buku teoritis, aku bersemangat sekali. Agar aku tahu secara sistematis tentang disiplin suatu ilmu.

[+/-] Selengkapnya...

Tuesday, June 30, 2009

Ashir Manggo; Review KopDar Member Milis Word Smart Center, di Kairo

Oleh: Nasruli Chusna*

Musim panas benar-benar telah tiba. Sengat mentari menembus pori-pori kulit. Berpasang-pasang mata, berlindung di balik kacamata hitam. Sementara, banyak juga yang memilih berjalan sambil memicingkan mata; karena panas. Aku melepas kacamataku ketika hendak memasuki masjid Rahman, Game’, Nasr City, Kairo. Sembari melangkahkan kaki kanan, di dalam hati, kulantunkan doa masuk masjid.

Eiger --sepatu sandal-- hitamku kuletakkan di rak sepatu. Mataku menjelajah seluruh ruangan. Retina mataku menangkap empat bayangan manusia tengah berkumpul, bercengkrama di bawah salah satu tiang masjid. Sebagian dari mereka aku mengenalnya. Ia, yang bersender di tiang masjid adalah Udo Yamin Majdi, penulis buku Qur’anic Quotient; Menggali dan Melejitkan Potensi Diri melalui al-Qur’an, sekaligus, Direktur Word Smart Center, Cairo. Sunggingan senyumnya merekah ketika berbincang dengan Zulfahani. Juara lomba cerpen KSW 2009 dan konstributor cerpen beberapa media di Indonesia itu pun tampak berbinar. Sepertinya perbincangan mereka sangat hangat. Sejurus kemudian, langsung saja kuhampiri mereka.

“Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam Wr.Wb, Ahlan!” jawab mereka serempak.

“Wah, ini nih. Penantangnya kok baru datang,” lanjut Zulfahani.

“Ha.. ha..,” aku nyengir.

Kusodorkan tanganku berjabat tangan. Lantas, mengenalkan diri pada dua teman baru yang belum kukenal. Mereka pun juga mengenalkan dirinya, David dan Farid. Kemudian kutanyakan kabar masing-masing. Perbincangan terpotong karena aku sedikit berbasa-basi. “Di luar, panas sekali, ternyata benar-benar musim panas.” Baru, kemudian aku menghanyut dalam topik perbincangan mereka.

Zulfahani menceritakan pengalamannya menulis cerpen. David berbagi, tentang caranya membaca novel; yaitu dengan membuat ringkasannya pula. “Agar dapat kosakata-kosakata baru,” katanya. Udo mendengarkan dengan seksama.

Di sela perbincangan yang menghangat, tak lama, seseorang datang. Oh, ternyata mas Leo Kelana. Keluarga Media Terobosan, Cerpenis, dan aktifis SaMas (Sajak Masisir) itu menyalami kami satu-persatu. Tangannya mencengkeram sebuah buku. Sampulnya berwarna biru. Sebentar, sepertinya aku mengenalnya. Ya pantas, ternyata novel terbaru Arif Friyadi, ketua FLP Mesir, “Mengapung Bersama Nil” yang baru terbit. Leo pun melirih senada denganku, “Uh, panasnya.”

Merasa tak ada yang ditunggu lagi, kami beranjak pergi. Kali ini, kami bertemu dalam rangka KopDar anggota milis Word Smart Center, di Kairo. Seperti rencana sebelumnya, kami menuju kedai ‘Ashir (Jus). Minum jus ramai-ramai sambil ngobrol, jadi kebiasaan nongkrong tersendiri bagi masyarakat Mesir. Tentu saja juga Masisir (Masyarakat Indonesia di Mesir). Di samping memang segar, harganya juga terjangkau. Kalau di Jogja, kita mengenal tradisi “angkringan” dan “nasi kucing”. Yaitu nasi yang dibungkus kecil-kecil, kemudian dipasarkan merakyat, lima ratus rupiah-an. Para aktifis mahasiswa, serta masyarakat Jogja pada umumnya, sering mengadakan rapat atau diskusi di situ; warung “angkringan” dan “nasi kucing”.

***
Dasar. Masih siang, panas pula. Kursi-kursi dan meja belum tersedia. Kedai ‘Ashir yang kami tuju biasa menyediakan kursi dan meja di pelataran jika sudah agak redup. Kalau malam, pelataran itu ramai oleh kursi, meja, dan senda gurau para pelanggan. Tak jarang pelanggan harus antri dulu sebelum dapat tempat. Akhirnya, setelah menemukan tempat yang teduh, segera kami minta kursi dan lima ‘Ashir Manggo.

“Lagi nulis apa nih, mas Leo?,” selorohku.

“Ah, nulis apa. Nggak ada kok,” aku yakin ia merendah.

“Kalau Zulfa sama David nih. Gimana proyek Venus-nya?”

“Hahaa…”

“Gimana Zulfa, lagi ngerjakan novel berjudul Venus yah, dengar-dengar?” kejar Udo.

“Hmmm…”

“Iya sih, emang. Saya dan David lagi mengerjakan novel bareng. Maksudnya satu novel dikerjakan berdua. Tapi seiring berjalannya, kami kok malah menemui kendala. Ide awalnya begini; satu tokoh, satu konfik, satu ide cerita ditulis sama-sama. Ditulis secara bergantian. Dan nampaknya berat juga yah! Masalahnya gaya dan karakter menulis kami tidak sama. Sebab itu, sepertinya kami akan membuat novelet saja. Lalu kami kemas dalam satu buku. Begitu kira-kira. Iya kan Vid?”

“Hheeee.”

Untung saja angin juga berhembus. Semilir. Membelai mesra tubuh lapuh kami yang sesekali meneteskan biji-biji keringat. Terik matahari pun jadi agak terperi. Di bawah rindang pohon, di tengah pelataran kedai ‘Ashir. Lima gelas ‘Ashir manggo, akhirnya datang juga. Wah, kelihatannya segar nih.

“Menarik sekali idenya,” seruku menanggapi Zulfa dan David. Obrolan pun makin melebar. Lewat obrolan ringan, kadang tercetus ide-ide brilian. Naguib Mahfudz, peraih nobel sastra, rupanya sering dapat inspirasi menulis ketika ngobrol-ngobrol ringan di kafe. Mungkin karena obrolan ringan, orang akan mengungkapkan kejujuran. Bahkan, salah satu novel best seller-nya, ia beri judul “The Harafisy”. Konon, Harafisy adalah nama gengnya saat ngafe.

Sambil sesekali meneguk ‘Ashir Manggo, bahan perbincangan makin asyik. Dari sini, pungkasnya, terbesit pula sebuah ide. “Bagaimana yah, kalau misalnya, kita bikin buku... yang lintas negara?” Udo melemparkan ide. Keningku berkerut, “Maaf, bisa dijelaskan lebih detil! Lintas negara bagaimana maksudnya?”

“Oke, jadi gini. Di milis kan sekarang, anggotanya dari berbagai negara. Ada yang dari Jerman, Hongkong, Saudi, Belanda, Jepang, Qatar, dan lain-lain. Termasuk yang di Tanah Air, juga, kita yang di Kairo. Nah, kenapa nggak kita tawarkan aja, nulis buku bersama? Misalnya fiksi, ya, kita bikin novel… Dengan cerita, tokohnya melintasi berbagai Negara dalam perjalanan hidupnya. Atau kalau misal feature; kita bikin catatan perjalanan. Gimana menurut teman-teman?”

“Wah, menarik tuh, Udo. Di Indonesia juga udah ada kan?”

“Iyah, kayak, siapa itu? Yang pernah tampil di acara Kick Andy.”

“Boleh.. boleh..”

Semua antusias menanggapi ide Udo. Tinggal menunggu komentar anggota milis yang lain. Jadi, ide ini akan diposting dulu di milis. Agar semua anggota milis Word Smart Center merespon dulu.

Sebetulnya memang pernah terbenak, bahwa, apakah berjalannya milis akan diserahkan kepada member sekalian atau tidak? Barangkali, sekaligus dibentuk kepengurusan juga. Karena, pihak Word Smart Center (WSC) sendiri juga berencana menyelenggarakan beberapa program khusus, terkait dengan 1 tahun berjalan dan berdirinya WSC. Di antaranya adalah; lomba menulis novel antar member dan sekolah menulis online. Hal ini tentu saja butuh penanggung jawab yang menggerakkan. Agar, WSC Kairo dapat lebih fokus pada sekolah menulis SMART offline. Dalam waktu dekat ini, tandas Udo, WSC akan mencoba metode baru sekolah menulis. Yakni “Self Discovering Writing.”

“Haaaah!”

“Apalagi itu, Ustadz Udo?”

Udo menarik nafas. Lantas bersiap untuk menjelaskan. Anggota WSC yang hadir, ancang-ancang mendengarkan. Raut muka mereka seperti mendapatkan temuan baru. Apaan sih?

“Iyah, tentang metode ini, sebelumnya pernah saya singgung dengan Ruli. Sederhananya gini; misalkan kita pelatihan menulis buku. Mula-mula kita jelaskan seluk-beluk tentang dunia perbukuan. Setelah itu langsung praktek. Nah, tema menulisnya adalah tentang diri sendiri. Bab I; masa lalu. Bab II; masa sekarang. Bab III; masa yang akan datang. Ditulis seperti memoar. Dari masing-masing bab, langsung kita adakan bengkel. Selain latihan menulis, juga menemukan diri dan cita-cita. Jadi, setelah pelatihan menulis selesai, tiap peserta udah punya satu buku memoar. Maka kami sebut metode ini “Self Discovering Writing”.

Udo menambahkan bahwa ia telah mencoba metode ini, dan bisa. “Terus terang, saya sendiri merasa gagal dengan sekolah menulis SMART lalu. Pertemuan per-minggu, ternyata memang kurang efektif,” jelasnya.

***
Matahari terus merambat ke langit barat. Sinarnya mulai redup. ‘Ashir manggo kami tinggal setengah. Gelasku malah tinggal berapa tetes saja. Handphoneku yang butut bergetar. Maka, segera kurogoh handbag Avtech-ku. Oh, tampaknya mas Lutfi Anshori, ketika di milis WSC biasa disapa gus Lutfi, atau guse. Saat bercakap di telpon, ia mohon maaf karena tak bisa hadir. Pasalnya, ia menyisakan satu mata kuliah dan ujian dilaksanakan esok harinya. Gara-gara Obama berkunjung ke Kairo, banyak mahasiswa yang jadwal ujiannya diundur hampir dua minggu. Termasuk gus Lutfi.

Dari perbincangan yang makin panjang, muncul pertanyaan. “Program WSC selain sekolah menulis, dalam waktu dekat ini apa yah?” kali ini Leo yang bertanya. Merujuk ke buku panduan Word Smart Center, WSC merancang program kerja dalam tiga kategori; jangka pendek, menengah dan panjang.

Dalam jangka pendek, WSC, telah menyelenggarakan sekolah menulis SMART, sekolah menulis On Air, Audiensi dengan Dubes RI di Mesir, dan Talk Show Menerjemah. Sebentar lagi sekolah menulis dengan metode “Self Discovering Writing” juga akan dilaksanakan di PPMI Tanta, Tafahna, dan Manshoura.

“Terus, website-nya gimana, ada nggak?”

“Iyah, itu gimana, Ruli?”

Pertanyaan menuju ke arahku. Sempat, Udo mengembankan amanat pengadaan website padaku dan beberapa sobat keluaran sekolah menulis. “Iyah, dalam minggu terakhir ini… sehabis ujian tepatnya, aku mengerjakan konten dan desain sederhana website kita. Hanya saja, Pak Dewan; pengelola situs eramuslim, warnaislam dan matadunia mengatakan bahwa --menirukan Udo-- beliau bersedia merancangkan website kita. Rencananya dibuat portal. Seperti situs jejaring sosial, semacam facebook, friendster, dan matadunia. Beliau juga bersedia memberi hosting unlimited, kapasitasnya tak terbatas. “Soalnya beliau kan ini… punya server sendiri,” jawabku. “Iya, itu sih, setelah Udo membincang dengan saya juga. Jadi, sementara ini kita menunggu beliau mengerjakannya. Baru setelah itu kita yang mengelola,” tambahku.

‘Ashir manggo di gelas kami masing-masing telah habis. Pelayan datang mengambil gelas-gelas yang kosong.

Udo menukas, “Lagi ya, menambahi Ruli. Kita sebenarnya punya gawe yang lebih besar lagi. Jaizah (Piala) Dubes A.M. Fachir, Smart Literary Award, Karnaval Kata, dan dialog dengan para pekerja literasi di sini. Nah, dari situ kita akan kumandangkan semacam manifesto. Ya misalnya… kalau kemarin didengungkan tahun bangkit prestasi, inginnya WSC ini mempelopori tahun bangkit menulis.”

“Ooh..,” kami melenguh bersamaan.

Tiba-tiba handphone Udo berdering. Samar-samar, kudengar suara perempuan di loud speaker handphone-nya itu. “Iya, Bunda, ada apa?” ujarnya, menanggapi suara di seberang. Spontan, aku berfikir bahwa itu pasti Teh Ami Rahmawati, istri Udo, Bunda Vira.

Usai Udo berbincang-bincang di telfon, kami meneruskan diskusi sejenak. Kuduga beliau harus segera balik ke Tafahna. Kemudian, dari Udo, kuserahkan selembar 20 pound Mesir pada kasir. Dikembalikan 5 pound. Pertemuan kami akhiri dengan bersalam-salaman. Lalu, kami pun akhirnya berpisah, setelah sepakat berjumpa kembali.

[+/-] Selengkapnya...

Burger Telur; Mengenang Gus Zainal Arifin Thoha

Oleh: Nasruli Chusna

Tanta siang ini panas. Apa lagi di daerah Syari’ Sa’id, kawasan kampus Tanta University dan pusat perbelanjaan di Tanta, Mesir. Meski aku berada di kedai makanan, keringatku tetap mengucur deras. Penjaga kedai menyapa ramah ketika kubuka kacamata hitamku. Aku membalasnya dengan senyuman. Kuletakkan ransel hitamku, kurebahkan tubuh letihku.

Penjaga kedai tadi mempersilakanku melihat-lihat menu makanan. Kuamati pelan-pelan. Sedangkan kepalaku agak pusing karena kepanasan. Ada berbagai macam burger. Harganya juga macam-macam. Mataku tertuju pada satu menu. Yang mana, menu itu, mengingatkanku pada seorang kawan. Tanpa pikir panjang, langsung saja aku memesannya.

“Burger campur telur, dua, paman!”

“Oh, masih seperti dulu.”

“Hah, paman masih ingat?”

“Iya dong. Oya, dimana kawanmu itu… yang agak besar itu?”

Anganku langsung terbang ke satu tahun lalu. Sering kali aku datang kesini bersama seorang kawan. Istirahat sebentar, sambil menikmati sedikit hidangan usai dari Alpha, tempat fotokopi Buletin GEMA Tanta. Aku tak menyangka kalau penjaga kedai itu masih mengingat kami. Walau pun, kawan saya itu sekarang sudah kembali ke Indonesia. Kuliah disana. Dan sekarang tengah merintis karirnya. Dengar-dengar, saat ini mengajar anak-anak bahasa Inggris, dan menekuni jurnalistik di kampusnya.

Jangan kira, memproses buletin dari awal peliputan hingga pendistribusian adalah pekerjaan gampang. Apa lagi ketika awal-awal perintisan. Atas dasar kesenangan, kami nekat menerbitkan buletin kami tiap bulan. Tanpa wawasan yang cukup tentang jurnalistik, dan bagaimana mengelola sebuah media. Toh, hingga sekarang pengelolaan buletin itu masih berjalan. Diterbitkan, masih tiap bulan oleh kawan-kawan. Dengan lebih matang. Dan makin dewasa. Salut. Meski sebetulnya, karena kelebihan-kelebihan itulah, muncul kekurangan-kekurangannya.

Penjaga kedai keluar membawa dua burger telur. Lengkap dengan saus tomat dan tursi (asinan). “Silakan, ya Andonesi,” tegurnya ramah.

Rupanya anganku tak hanya terjengkang ke satu tahun lalu. Namun juga beberapa tahun lalu. Waktu masih SLTA. Ketika pertama kali dikenalkan dengan dunia jurnalistik. “Bisa jadi, orang yang pertama kali masuk surga adalah jurnalis,” kata seorang narasumber dalam acara Training Jurnalistik Tingkat Dasar (TJTD) di sekolahku, MAN Tambakberas, Jombang. “Tapi juga bisa jadi , orang yang pertama kali masuk neraka juga seorang jurnalis,” tambah wartawan media lokal Jombang, yang akhirnya jadi kawan main poker kami. Karena dulunya, ia aktif di organisasi pergerakan mahasiswa yang saya ikuti.

Sebut saja Ebleck. Sebab kawan-kawan memanggilnya demikian. Waktu itu ia masih wartawan Media Sipil, diterbitkan yayasan Madani, Jombang. Sebuah LSM yang bergerak pada perlindungan petani. Menurutnya, “Pada prinsipnya, pekerjaan seorang wartawan adalah meliput. Dan ketika menyajikan berita, ia harus melaporkan apa yang ia liput sedetil mungkin.”

Dalam hal ini, ukurannya adalah; setelah membaca laporannya, pembaca berita harus lebih paham akan isi berita, dari pada si wartawan. Ah, makin membingungkan saja.

Sementara, tak terasa satu burger telur habis kulahap. Tomat merah ranum, irisan mentimun dan sekaleng pepsi, telah berhasil menyegarkan tubuhku. Burger telurku masih sisa satu. Aku masih ingin menyantapnya. Tapi urung juga kulakukan. Aku ragu. Kualihkan pandangan ke tas ransel di sampingku. Biasanya aku menyimpan tissu di situ. Tapi, aku tak menemukan selembar tisu pun ketika kurogohkan tanganku. Hanya ada dua buah buku. Yang satu al-fikr al-‘araby karya Dals Olery, orientalis asal Irlandia. Dan satunya lagi Ketika Cinta Bertasbih jilid I, karya Habiburrahman el-Shirazi. Kang Abik, beliau, sungguh mengesankan.

Sosoknya –Kang Abik— dengan sapa dan senyum ramahnya, serta kopyah hitam yang biasa beliau kenakan, mengingatkanku pada seseorang. Zainal Arifin Thoha.

Di Aliahku dulu, ada dua kali pelatihan jurnalistik. Training Jurnalistik Tingkat Dasar (TJTD). Dan Training Jurnalistik Tingkat Lanjut (TJTL). Semuanya diselenggarakan oleh OSIS. Saat itu, tahun 2005. Acara TJTL mengundang sastrawan dan budayawan besar. Beliau lah; Zainal Arifin Thoha.

Akhir-akhir ini aku teringat kembali sosok beliau, almarhum. Seorang kawan, Arif Budiman SS., mahasiswa pascasarjana UGM, satu waktu mengajak berbincang tentang beliau, “Pernah dengar Bapak Zainal Arifin Thoha? Sudah almarhum, tapi...” Aku berpikir sejenak. “O iyah, beliau pernah datang ke sekolah Aliahku,” jawabku kemudian.

“Jadi beliau itu punya pesantren. Kecil sih, emang... Tahun pertama, tiap santri biaya hidupnya ditanggun oleh beliau. Terus tahun berikutnya, dan seterusnya, semua harus bisa mandiri. Yaitu lewat menulis. Makanya tiap santrinya diwajibkan menulis di media. Jadi secara tak langsung, semuanya harus menulis. Karena logikanya, kalau nggak nulis yah nggak makan. Hehe..,” cerita mas Arif.

Perjalanan ziarah makam aulia PCINU-Mesir, satu saat itu, akhirnya lebih banyak kugunakan berdiskusi dengan mas Arif.

Isma Kazee, penulis novel Jerawat Santri dan Ja’a Jutek, dulunya juga sempat belajar menulis sama beliau. Tentang jurnalistik dan sastra. Kenangnya, sekitar tahun 1995, Forkaf Jogja mengadakan diklat jurnalistik di PPP al-Fathimiyyah. Menurut Izma; Gus Zainal, demikian panggilan akbrab para santrinya, merupakan fasilitator paling menarik dan lebih terbuka menerima respon “kekaguman” adik-adik bimbingannya.

“Seru banget waktu itu. Hampir semua peserta diklat, termasuk aku, berlomba-lomba berkirim surat sama ketiga fasilitator itu. Dari sekadar konsultasi tulis-menulis, sampai menyatakan rasa kagum dan bilang ‘I love U’. Lucu dan seru ya,” tulis Isma di blog pribadinya, yang ketika itu masih ABG. Kini Isma beserta keluarganya juga tinggal di Jogja.

Namun sayang, 14 Maret 2007, gus zainal berpulang ke pangkuan Allah Swt. Meninggalkan istri dan anaknya, santri-santrinya, penerbit KUTUB, dan pengagum-pengagumnya, sepertiku.

“Hei Andonesi, kenapa tak dihabiskan?” suara penjaga kedai mengagetkanku. Oh, iya. Ternyata pikiranku sedang kemana-mana. Burger telur di depanku jadi terlupakan. Hem, nikmat sekali rasanya sarapan hari ini. Sejak keluar tadi pagi, dari maktabah kirbah sampai Fatallah Super Market, perutku belum terisi apa pun. Aku yakin, dua serumahku juga belum makan. Mungkin mereka sedang bersiap tidur. Karena paginya ujian al-Azhar.

Aku memesan dua burger telur lagi untuk kubawa pulang. Sementara, anganku masih terus berangan. Sampai perjalanan pulang, simfoni masa lalu terus melayang. Sekenario kehidupan, yang menjadikan diriku sekarang, ADA.

Tanta, 28 Mei 2009

[+/-] Selengkapnya...

Saturday, June 27, 2009

Gus "Oyee" (Bagian I)

Kemaren aku sudah bilang. Bahwa blog ini untuk menulis cerita-ceritaku. Mohon maaf karena kemarin absen. Alhamdulillah, kali ini ada kesempatan. Awalnya aku ingin memulai cerita dari masa kecil. Tapi nggak jadi. Karena aku udah nggak betah, untuk nggak nyeritakan kehidupanku saat ini.

Di kairo, aku tinggal serumah dengan orang-orang TOP. Bahkan, karena saking top-nya, salah seorang penghuni rumah kami biasa dipanggil mas TOB. Penghuni lainnya adalah, Makmum Bingung, Tuan Guru Thoriq, Jack Doray, Daulat Halilintar, Akang Haji Tyo, Tuan Guru Wiega, Gus "Oyee", Laura (seekor kucing yang cantik), dan Carlo seekor burung kakak tua).

Tenang saja. aku akan ceritakan mereka semua. Termasuk juga laura dan carlo. Tapi tentunya nggak bisa bareng-bareng dong! Sebagai pembuka, cerita "Gus Oyee" sepertinya menarik kita simak.

Jujur, Gus "Oyee" itu bukan orang biasa. Susah untuk menggambarkannya secara fisik. Yang jelas, dia --kata cewek-cewek sini-- badannya macho. Aku sendiri nggak tau, mereka itu ngeliat gus "Oyee" dari sudut pandang mana? dari jarak 500 Km kali yah? Ditambah, mungkin ngeliatnya pakek sedotan. Ah, terserah lah mereka mau bilang apa. Meski dibilang seperti apa pun, Gus "Oyee" adalah salah satu orang yang membimbingku. Gus "Oyee" selalu siap sedia, jika aku bertanya apa pun. Terutama ketika membaca buku berbahasa Arab.

Gus "Oyee" sekarang, katanya, nge-fans banget sama Ratna Antika. Artis dangdut koplo yang, sumpah, kalau bejilbab cantiknya ngalahin Zazkia Adya Mecca. Selain itu gus "Oyee" adalah pengagum karya-karya Pramodya Ananta Toer. Gila! Lebih gila lagi, gus "Oyee" orangnya kritis. Tapi sayang, kayaknya sekarang dia lagi nge-jomblo. Hayoo, siapa yang mau?

Minggu-minggu terakhir, gus "Oyee", memproklamirkan diri sebagai pelopor hidup sehat. Dengan PD-nya ia mengajakku jogging, lari pagi. "Loh, biar sehat khi," katanya. Oke aku mengikuti ajakannya. Hari berikutnya juga begitu. Kami lari pagi lagi. Wah, seger sekali ternyata. Pernafasanku juga semakin teratur. Aku bersyukur diajak oleh gus "Oyee". "Kalau begini terus, aku bisa sekalian latihan mendisiplinkan diri nih," gumamku dalam hati.

Hari berikutnya, gus "Oyee" nggak ngajak joging lagi. Aku mencarinya. Ketika kutemukan dia, aku langsung mengajaknya, "nggak joging lagi khi." Gus "Oyee" menggeleng. Kulihat wajahnya lagi nggak mood. Akhirnya pagi itu aku hanya pergi dengan Jack Doray.

Karena udah ngosh-ngoshan, aku mengajak Jack Doray balik saja ke rumah. Di jalan saat pulang, kami minum air putih. Itu memang kami persiapkan sebelumnya. "Haaah, sueger yah?" sahut Jack Doray. Aku menjawab singkat, "SIIP." sok mantap. Padahal sebenarnya karena aku sudah kecapaian. Aku sepertinya kehabisan nafas. Sampai nggak bisa mengucapkan apa-apa.

Begitu tiba di rumah, kami menemui gus "Oyee" dalam keadaan merintih. Katanya badannya sakit. Pokoknya tidak enak semua. Meski musim panas, tubuhnya dibalut jaket. Waktu berbaring masih bersembunyi di balik selimut tebal. Sepertinya otaknya juga tengah merana. Dari mulutnya selalu bilang, "Oyee.. Oyee..". Ya Allah, kenapa pembimbingku itu? Aku sungguh nggak tega melihatnya seperti itu. Bersambung.


[+/-] Selengkapnya...

Thursday, June 25, 2009

Introduced

Bissmillahirrahmanirrahim. Dengan menyebut nama Allah, yang maha pengasih lagi maha penyanyang. Hari ini, Jum'at (26/09). Aku ingin menuliskan cerita-ceritaku di sini. Di blog ini. Ya Allah, sungguh, aku berdo'a semoga terhindar dari narsis. Semata-mata aku hanya ingin mengaktualisasikan diri. Yaitu dengan menulis. Dengan menulis, ternyata aku banyak menemukan hal baru. Kalau kata kang Abik --penulis novel Best Seller, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Pudarnya Pesona Cleopatra, Dalam Mihrab Cinta, dll-- adalah multi player effect.

Perkenalkan. Satu saat, di kota kecil di Jawa Timur, Bojonegoro. Ibuk melahirkanku, atas izin Allah, berjenis kelamin laki-laki. Bertepatan pada tanggal 25 Oktober 1988. Kata Bapak, "waktu itu hujan deras, petir menyambar-nyambar, sungai pun banjir." Dan Bapak memanjat pohon kelapa dalam keadaan licin. Batang tubuh pohon kelapa, yang dipanjat Bapakku, susah sekali di pegang. Hingga Bapak harus bersusah payah hanya untuk mendapatkan kelapa muda. Itu juga tak sembarang kelapa. Tapi kelapa hijau. Namun, dengan semangat Bapak, karena aku putra pertama, akhirnya aku dapat merasakan degan (kelapa muda yang belum keras) panjatan Bapak. Sekarang, aku pun tak ingat, bagaimana rasa kelapa muda itu?

Ibu bilang, aku adalah lelaki paling "ganteng" sedunia. Makanya aku sering bertanya pada diri sendiri, "ah, masa iya sih?" Tapi itu tidak penting. Ibuk sangat sayang padaku. Bapak juga. Jangankan membalas kasih sayang mereka, untuk menerima kasih sayang mereka saja aku sudah tak sanggup. Karena begitu besarnya. Tuhan, Allah Swt, terima kasih telah menciptakan Bapak dan Ibuku sangat sayang padaku. Semoga mereka --Bapak dan Ibuk-- senantiasa sehat, lapang rizkinya, panjang umurnya dan senantiasa dalam limpahan Rahmat, Taufiq, dan Hidayah- Nya.

Udah, gitu dulu tentangku. Entar lanjut.

[+/-] Selengkapnya...

Followers

Ekspedisi Laki-laki © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO