Tuesday, June 30, 2009

Ashir Manggo; Review KopDar Member Milis Word Smart Center, di Kairo

Oleh: Nasruli Chusna*

Musim panas benar-benar telah tiba. Sengat mentari menembus pori-pori kulit. Berpasang-pasang mata, berlindung di balik kacamata hitam. Sementara, banyak juga yang memilih berjalan sambil memicingkan mata; karena panas. Aku melepas kacamataku ketika hendak memasuki masjid Rahman, Game’, Nasr City, Kairo. Sembari melangkahkan kaki kanan, di dalam hati, kulantunkan doa masuk masjid.

Eiger --sepatu sandal-- hitamku kuletakkan di rak sepatu. Mataku menjelajah seluruh ruangan. Retina mataku menangkap empat bayangan manusia tengah berkumpul, bercengkrama di bawah salah satu tiang masjid. Sebagian dari mereka aku mengenalnya. Ia, yang bersender di tiang masjid adalah Udo Yamin Majdi, penulis buku Qur’anic Quotient; Menggali dan Melejitkan Potensi Diri melalui al-Qur’an, sekaligus, Direktur Word Smart Center, Cairo. Sunggingan senyumnya merekah ketika berbincang dengan Zulfahani. Juara lomba cerpen KSW 2009 dan konstributor cerpen beberapa media di Indonesia itu pun tampak berbinar. Sepertinya perbincangan mereka sangat hangat. Sejurus kemudian, langsung saja kuhampiri mereka.

“Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam Wr.Wb, Ahlan!” jawab mereka serempak.

“Wah, ini nih. Penantangnya kok baru datang,” lanjut Zulfahani.

“Ha.. ha..,” aku nyengir.

Kusodorkan tanganku berjabat tangan. Lantas, mengenalkan diri pada dua teman baru yang belum kukenal. Mereka pun juga mengenalkan dirinya, David dan Farid. Kemudian kutanyakan kabar masing-masing. Perbincangan terpotong karena aku sedikit berbasa-basi. “Di luar, panas sekali, ternyata benar-benar musim panas.” Baru, kemudian aku menghanyut dalam topik perbincangan mereka.

Zulfahani menceritakan pengalamannya menulis cerpen. David berbagi, tentang caranya membaca novel; yaitu dengan membuat ringkasannya pula. “Agar dapat kosakata-kosakata baru,” katanya. Udo mendengarkan dengan seksama.

Di sela perbincangan yang menghangat, tak lama, seseorang datang. Oh, ternyata mas Leo Kelana. Keluarga Media Terobosan, Cerpenis, dan aktifis SaMas (Sajak Masisir) itu menyalami kami satu-persatu. Tangannya mencengkeram sebuah buku. Sampulnya berwarna biru. Sebentar, sepertinya aku mengenalnya. Ya pantas, ternyata novel terbaru Arif Friyadi, ketua FLP Mesir, “Mengapung Bersama Nil” yang baru terbit. Leo pun melirih senada denganku, “Uh, panasnya.”

Merasa tak ada yang ditunggu lagi, kami beranjak pergi. Kali ini, kami bertemu dalam rangka KopDar anggota milis Word Smart Center, di Kairo. Seperti rencana sebelumnya, kami menuju kedai ‘Ashir (Jus). Minum jus ramai-ramai sambil ngobrol, jadi kebiasaan nongkrong tersendiri bagi masyarakat Mesir. Tentu saja juga Masisir (Masyarakat Indonesia di Mesir). Di samping memang segar, harganya juga terjangkau. Kalau di Jogja, kita mengenal tradisi “angkringan” dan “nasi kucing”. Yaitu nasi yang dibungkus kecil-kecil, kemudian dipasarkan merakyat, lima ratus rupiah-an. Para aktifis mahasiswa, serta masyarakat Jogja pada umumnya, sering mengadakan rapat atau diskusi di situ; warung “angkringan” dan “nasi kucing”.

***
Dasar. Masih siang, panas pula. Kursi-kursi dan meja belum tersedia. Kedai ‘Ashir yang kami tuju biasa menyediakan kursi dan meja di pelataran jika sudah agak redup. Kalau malam, pelataran itu ramai oleh kursi, meja, dan senda gurau para pelanggan. Tak jarang pelanggan harus antri dulu sebelum dapat tempat. Akhirnya, setelah menemukan tempat yang teduh, segera kami minta kursi dan lima ‘Ashir Manggo.

“Lagi nulis apa nih, mas Leo?,” selorohku.

“Ah, nulis apa. Nggak ada kok,” aku yakin ia merendah.

“Kalau Zulfa sama David nih. Gimana proyek Venus-nya?”

“Hahaa…”

“Gimana Zulfa, lagi ngerjakan novel berjudul Venus yah, dengar-dengar?” kejar Udo.

“Hmmm…”

“Iya sih, emang. Saya dan David lagi mengerjakan novel bareng. Maksudnya satu novel dikerjakan berdua. Tapi seiring berjalannya, kami kok malah menemui kendala. Ide awalnya begini; satu tokoh, satu konfik, satu ide cerita ditulis sama-sama. Ditulis secara bergantian. Dan nampaknya berat juga yah! Masalahnya gaya dan karakter menulis kami tidak sama. Sebab itu, sepertinya kami akan membuat novelet saja. Lalu kami kemas dalam satu buku. Begitu kira-kira. Iya kan Vid?”

“Hheeee.”

Untung saja angin juga berhembus. Semilir. Membelai mesra tubuh lapuh kami yang sesekali meneteskan biji-biji keringat. Terik matahari pun jadi agak terperi. Di bawah rindang pohon, di tengah pelataran kedai ‘Ashir. Lima gelas ‘Ashir manggo, akhirnya datang juga. Wah, kelihatannya segar nih.

“Menarik sekali idenya,” seruku menanggapi Zulfa dan David. Obrolan pun makin melebar. Lewat obrolan ringan, kadang tercetus ide-ide brilian. Naguib Mahfudz, peraih nobel sastra, rupanya sering dapat inspirasi menulis ketika ngobrol-ngobrol ringan di kafe. Mungkin karena obrolan ringan, orang akan mengungkapkan kejujuran. Bahkan, salah satu novel best seller-nya, ia beri judul “The Harafisy”. Konon, Harafisy adalah nama gengnya saat ngafe.

Sambil sesekali meneguk ‘Ashir Manggo, bahan perbincangan makin asyik. Dari sini, pungkasnya, terbesit pula sebuah ide. “Bagaimana yah, kalau misalnya, kita bikin buku... yang lintas negara?” Udo melemparkan ide. Keningku berkerut, “Maaf, bisa dijelaskan lebih detil! Lintas negara bagaimana maksudnya?”

“Oke, jadi gini. Di milis kan sekarang, anggotanya dari berbagai negara. Ada yang dari Jerman, Hongkong, Saudi, Belanda, Jepang, Qatar, dan lain-lain. Termasuk yang di Tanah Air, juga, kita yang di Kairo. Nah, kenapa nggak kita tawarkan aja, nulis buku bersama? Misalnya fiksi, ya, kita bikin novel… Dengan cerita, tokohnya melintasi berbagai Negara dalam perjalanan hidupnya. Atau kalau misal feature; kita bikin catatan perjalanan. Gimana menurut teman-teman?”

“Wah, menarik tuh, Udo. Di Indonesia juga udah ada kan?”

“Iyah, kayak, siapa itu? Yang pernah tampil di acara Kick Andy.”

“Boleh.. boleh..”

Semua antusias menanggapi ide Udo. Tinggal menunggu komentar anggota milis yang lain. Jadi, ide ini akan diposting dulu di milis. Agar semua anggota milis Word Smart Center merespon dulu.

Sebetulnya memang pernah terbenak, bahwa, apakah berjalannya milis akan diserahkan kepada member sekalian atau tidak? Barangkali, sekaligus dibentuk kepengurusan juga. Karena, pihak Word Smart Center (WSC) sendiri juga berencana menyelenggarakan beberapa program khusus, terkait dengan 1 tahun berjalan dan berdirinya WSC. Di antaranya adalah; lomba menulis novel antar member dan sekolah menulis online. Hal ini tentu saja butuh penanggung jawab yang menggerakkan. Agar, WSC Kairo dapat lebih fokus pada sekolah menulis SMART offline. Dalam waktu dekat ini, tandas Udo, WSC akan mencoba metode baru sekolah menulis. Yakni “Self Discovering Writing.”

“Haaaah!”

“Apalagi itu, Ustadz Udo?”

Udo menarik nafas. Lantas bersiap untuk menjelaskan. Anggota WSC yang hadir, ancang-ancang mendengarkan. Raut muka mereka seperti mendapatkan temuan baru. Apaan sih?

“Iyah, tentang metode ini, sebelumnya pernah saya singgung dengan Ruli. Sederhananya gini; misalkan kita pelatihan menulis buku. Mula-mula kita jelaskan seluk-beluk tentang dunia perbukuan. Setelah itu langsung praktek. Nah, tema menulisnya adalah tentang diri sendiri. Bab I; masa lalu. Bab II; masa sekarang. Bab III; masa yang akan datang. Ditulis seperti memoar. Dari masing-masing bab, langsung kita adakan bengkel. Selain latihan menulis, juga menemukan diri dan cita-cita. Jadi, setelah pelatihan menulis selesai, tiap peserta udah punya satu buku memoar. Maka kami sebut metode ini “Self Discovering Writing”.

Udo menambahkan bahwa ia telah mencoba metode ini, dan bisa. “Terus terang, saya sendiri merasa gagal dengan sekolah menulis SMART lalu. Pertemuan per-minggu, ternyata memang kurang efektif,” jelasnya.

***
Matahari terus merambat ke langit barat. Sinarnya mulai redup. ‘Ashir manggo kami tinggal setengah. Gelasku malah tinggal berapa tetes saja. Handphoneku yang butut bergetar. Maka, segera kurogoh handbag Avtech-ku. Oh, tampaknya mas Lutfi Anshori, ketika di milis WSC biasa disapa gus Lutfi, atau guse. Saat bercakap di telpon, ia mohon maaf karena tak bisa hadir. Pasalnya, ia menyisakan satu mata kuliah dan ujian dilaksanakan esok harinya. Gara-gara Obama berkunjung ke Kairo, banyak mahasiswa yang jadwal ujiannya diundur hampir dua minggu. Termasuk gus Lutfi.

Dari perbincangan yang makin panjang, muncul pertanyaan. “Program WSC selain sekolah menulis, dalam waktu dekat ini apa yah?” kali ini Leo yang bertanya. Merujuk ke buku panduan Word Smart Center, WSC merancang program kerja dalam tiga kategori; jangka pendek, menengah dan panjang.

Dalam jangka pendek, WSC, telah menyelenggarakan sekolah menulis SMART, sekolah menulis On Air, Audiensi dengan Dubes RI di Mesir, dan Talk Show Menerjemah. Sebentar lagi sekolah menulis dengan metode “Self Discovering Writing” juga akan dilaksanakan di PPMI Tanta, Tafahna, dan Manshoura.

“Terus, website-nya gimana, ada nggak?”

“Iyah, itu gimana, Ruli?”

Pertanyaan menuju ke arahku. Sempat, Udo mengembankan amanat pengadaan website padaku dan beberapa sobat keluaran sekolah menulis. “Iyah, dalam minggu terakhir ini… sehabis ujian tepatnya, aku mengerjakan konten dan desain sederhana website kita. Hanya saja, Pak Dewan; pengelola situs eramuslim, warnaislam dan matadunia mengatakan bahwa --menirukan Udo-- beliau bersedia merancangkan website kita. Rencananya dibuat portal. Seperti situs jejaring sosial, semacam facebook, friendster, dan matadunia. Beliau juga bersedia memberi hosting unlimited, kapasitasnya tak terbatas. “Soalnya beliau kan ini… punya server sendiri,” jawabku. “Iya, itu sih, setelah Udo membincang dengan saya juga. Jadi, sementara ini kita menunggu beliau mengerjakannya. Baru setelah itu kita yang mengelola,” tambahku.

‘Ashir manggo di gelas kami masing-masing telah habis. Pelayan datang mengambil gelas-gelas yang kosong.

Udo menukas, “Lagi ya, menambahi Ruli. Kita sebenarnya punya gawe yang lebih besar lagi. Jaizah (Piala) Dubes A.M. Fachir, Smart Literary Award, Karnaval Kata, dan dialog dengan para pekerja literasi di sini. Nah, dari situ kita akan kumandangkan semacam manifesto. Ya misalnya… kalau kemarin didengungkan tahun bangkit prestasi, inginnya WSC ini mempelopori tahun bangkit menulis.”

“Ooh..,” kami melenguh bersamaan.

Tiba-tiba handphone Udo berdering. Samar-samar, kudengar suara perempuan di loud speaker handphone-nya itu. “Iya, Bunda, ada apa?” ujarnya, menanggapi suara di seberang. Spontan, aku berfikir bahwa itu pasti Teh Ami Rahmawati, istri Udo, Bunda Vira.

Usai Udo berbincang-bincang di telfon, kami meneruskan diskusi sejenak. Kuduga beliau harus segera balik ke Tafahna. Kemudian, dari Udo, kuserahkan selembar 20 pound Mesir pada kasir. Dikembalikan 5 pound. Pertemuan kami akhiri dengan bersalam-salaman. Lalu, kami pun akhirnya berpisah, setelah sepakat berjumpa kembali.

Seja o primeiro a comentar

Post a Comment

Followers

Ekspedisi Laki-laki © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO