Tuesday, June 30, 2009

Burger Telur; Mengenang Gus Zainal Arifin Thoha

Oleh: Nasruli Chusna

Tanta siang ini panas. Apa lagi di daerah Syari’ Sa’id, kawasan kampus Tanta University dan pusat perbelanjaan di Tanta, Mesir. Meski aku berada di kedai makanan, keringatku tetap mengucur deras. Penjaga kedai menyapa ramah ketika kubuka kacamata hitamku. Aku membalasnya dengan senyuman. Kuletakkan ransel hitamku, kurebahkan tubuh letihku.

Penjaga kedai tadi mempersilakanku melihat-lihat menu makanan. Kuamati pelan-pelan. Sedangkan kepalaku agak pusing karena kepanasan. Ada berbagai macam burger. Harganya juga macam-macam. Mataku tertuju pada satu menu. Yang mana, menu itu, mengingatkanku pada seorang kawan. Tanpa pikir panjang, langsung saja aku memesannya.

“Burger campur telur, dua, paman!”

“Oh, masih seperti dulu.”

“Hah, paman masih ingat?”

“Iya dong. Oya, dimana kawanmu itu… yang agak besar itu?”

Anganku langsung terbang ke satu tahun lalu. Sering kali aku datang kesini bersama seorang kawan. Istirahat sebentar, sambil menikmati sedikit hidangan usai dari Alpha, tempat fotokopi Buletin GEMA Tanta. Aku tak menyangka kalau penjaga kedai itu masih mengingat kami. Walau pun, kawan saya itu sekarang sudah kembali ke Indonesia. Kuliah disana. Dan sekarang tengah merintis karirnya. Dengar-dengar, saat ini mengajar anak-anak bahasa Inggris, dan menekuni jurnalistik di kampusnya.

Jangan kira, memproses buletin dari awal peliputan hingga pendistribusian adalah pekerjaan gampang. Apa lagi ketika awal-awal perintisan. Atas dasar kesenangan, kami nekat menerbitkan buletin kami tiap bulan. Tanpa wawasan yang cukup tentang jurnalistik, dan bagaimana mengelola sebuah media. Toh, hingga sekarang pengelolaan buletin itu masih berjalan. Diterbitkan, masih tiap bulan oleh kawan-kawan. Dengan lebih matang. Dan makin dewasa. Salut. Meski sebetulnya, karena kelebihan-kelebihan itulah, muncul kekurangan-kekurangannya.

Penjaga kedai keluar membawa dua burger telur. Lengkap dengan saus tomat dan tursi (asinan). “Silakan, ya Andonesi,” tegurnya ramah.

Rupanya anganku tak hanya terjengkang ke satu tahun lalu. Namun juga beberapa tahun lalu. Waktu masih SLTA. Ketika pertama kali dikenalkan dengan dunia jurnalistik. “Bisa jadi, orang yang pertama kali masuk surga adalah jurnalis,” kata seorang narasumber dalam acara Training Jurnalistik Tingkat Dasar (TJTD) di sekolahku, MAN Tambakberas, Jombang. “Tapi juga bisa jadi , orang yang pertama kali masuk neraka juga seorang jurnalis,” tambah wartawan media lokal Jombang, yang akhirnya jadi kawan main poker kami. Karena dulunya, ia aktif di organisasi pergerakan mahasiswa yang saya ikuti.

Sebut saja Ebleck. Sebab kawan-kawan memanggilnya demikian. Waktu itu ia masih wartawan Media Sipil, diterbitkan yayasan Madani, Jombang. Sebuah LSM yang bergerak pada perlindungan petani. Menurutnya, “Pada prinsipnya, pekerjaan seorang wartawan adalah meliput. Dan ketika menyajikan berita, ia harus melaporkan apa yang ia liput sedetil mungkin.”

Dalam hal ini, ukurannya adalah; setelah membaca laporannya, pembaca berita harus lebih paham akan isi berita, dari pada si wartawan. Ah, makin membingungkan saja.

Sementara, tak terasa satu burger telur habis kulahap. Tomat merah ranum, irisan mentimun dan sekaleng pepsi, telah berhasil menyegarkan tubuhku. Burger telurku masih sisa satu. Aku masih ingin menyantapnya. Tapi urung juga kulakukan. Aku ragu. Kualihkan pandangan ke tas ransel di sampingku. Biasanya aku menyimpan tissu di situ. Tapi, aku tak menemukan selembar tisu pun ketika kurogohkan tanganku. Hanya ada dua buah buku. Yang satu al-fikr al-‘araby karya Dals Olery, orientalis asal Irlandia. Dan satunya lagi Ketika Cinta Bertasbih jilid I, karya Habiburrahman el-Shirazi. Kang Abik, beliau, sungguh mengesankan.

Sosoknya –Kang Abik— dengan sapa dan senyum ramahnya, serta kopyah hitam yang biasa beliau kenakan, mengingatkanku pada seseorang. Zainal Arifin Thoha.

Di Aliahku dulu, ada dua kali pelatihan jurnalistik. Training Jurnalistik Tingkat Dasar (TJTD). Dan Training Jurnalistik Tingkat Lanjut (TJTL). Semuanya diselenggarakan oleh OSIS. Saat itu, tahun 2005. Acara TJTL mengundang sastrawan dan budayawan besar. Beliau lah; Zainal Arifin Thoha.

Akhir-akhir ini aku teringat kembali sosok beliau, almarhum. Seorang kawan, Arif Budiman SS., mahasiswa pascasarjana UGM, satu waktu mengajak berbincang tentang beliau, “Pernah dengar Bapak Zainal Arifin Thoha? Sudah almarhum, tapi...” Aku berpikir sejenak. “O iyah, beliau pernah datang ke sekolah Aliahku,” jawabku kemudian.

“Jadi beliau itu punya pesantren. Kecil sih, emang... Tahun pertama, tiap santri biaya hidupnya ditanggun oleh beliau. Terus tahun berikutnya, dan seterusnya, semua harus bisa mandiri. Yaitu lewat menulis. Makanya tiap santrinya diwajibkan menulis di media. Jadi secara tak langsung, semuanya harus menulis. Karena logikanya, kalau nggak nulis yah nggak makan. Hehe..,” cerita mas Arif.

Perjalanan ziarah makam aulia PCINU-Mesir, satu saat itu, akhirnya lebih banyak kugunakan berdiskusi dengan mas Arif.

Isma Kazee, penulis novel Jerawat Santri dan Ja’a Jutek, dulunya juga sempat belajar menulis sama beliau. Tentang jurnalistik dan sastra. Kenangnya, sekitar tahun 1995, Forkaf Jogja mengadakan diklat jurnalistik di PPP al-Fathimiyyah. Menurut Izma; Gus Zainal, demikian panggilan akbrab para santrinya, merupakan fasilitator paling menarik dan lebih terbuka menerima respon “kekaguman” adik-adik bimbingannya.

“Seru banget waktu itu. Hampir semua peserta diklat, termasuk aku, berlomba-lomba berkirim surat sama ketiga fasilitator itu. Dari sekadar konsultasi tulis-menulis, sampai menyatakan rasa kagum dan bilang ‘I love U’. Lucu dan seru ya,” tulis Isma di blog pribadinya, yang ketika itu masih ABG. Kini Isma beserta keluarganya juga tinggal di Jogja.

Namun sayang, 14 Maret 2007, gus zainal berpulang ke pangkuan Allah Swt. Meninggalkan istri dan anaknya, santri-santrinya, penerbit KUTUB, dan pengagum-pengagumnya, sepertiku.

“Hei Andonesi, kenapa tak dihabiskan?” suara penjaga kedai mengagetkanku. Oh, iya. Ternyata pikiranku sedang kemana-mana. Burger telur di depanku jadi terlupakan. Hem, nikmat sekali rasanya sarapan hari ini. Sejak keluar tadi pagi, dari maktabah kirbah sampai Fatallah Super Market, perutku belum terisi apa pun. Aku yakin, dua serumahku juga belum makan. Mungkin mereka sedang bersiap tidur. Karena paginya ujian al-Azhar.

Aku memesan dua burger telur lagi untuk kubawa pulang. Sementara, anganku masih terus berangan. Sampai perjalanan pulang, simfoni masa lalu terus melayang. Sekenario kehidupan, yang menjadikan diriku sekarang, ADA.

Tanta, 28 Mei 2009

Seja o primeiro a comentar

Post a Comment

Followers

Ekspedisi Laki-laki © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO